Firaun Adalah Raja Bangsa
Warta Jemaat GKI Gading Serpong, Minggu, 13 Agustus 2023
Bacaan Alkitab: 1 Raja-raja 19:9-18; Mazmur 85:9-14; Roma 10:5-15; Matius 14:22-33
Dalam 1 Raj. 19:1-18 kita membaca kisah yang penuh warna dalam hidup nabi Elia. Setelah kemenangan yang luar biasa di gunung Karmel, kala Elia mengalahkan ratusan nabi Baal, Elia harus melarikan diri ke gunung Horeb. Di Horeb, Allah bertanya kepada Elia sebanyak 2 kali: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” Pertanyaan yang sekaligus sindiran, untuk apa Elia ada di tempat tersebut dan bukan di tengah-tengah umat Tuhan. Kenapa ia melarikan diri dan mengasihani diri, dan bukannya melanjutkan karya pelayanan di tengah bangsanya.
Di Horeb, Tuhan tidak membiarkan Elia terus ada dalam kekecewaan dan kepedihan. Tuhan menjumpai dan memberinya tugas: “kembalilah ke jalanmu”. Itu artinya Elia diminta kembali pada panggilannya, berkarya di tengah bangsanya dan umat Allah. Elia diminta untuk menyiapkan penggantinya, yaitu Elisa. Selain itu, ia juga diminta untuk mengurapi Hazael menjadi raja Aram, dan mengurapi Yehu menjadi raja Israel.Dari Karmel menuju Horeb, jadi simbol hidup manusia: hidup kadang di atas begitu hebat dan luar biasa, tapi dalam sekejap jadi berantakan karena masalah menimpa. Di Karmel Elia begitu perkasa, tapi menghadapi seorang Izebel, ia tak punya kuasa dan kehilangan asa. Elia menjadi takut. Selain itu hatinya juga dipenuhi kekecewaan, karena jalan kebenaran yang ia tempuh, malah membuatnya terancam dan membawanya dalam situasi berbahaya. Rasa takut dan kecewa itu membuat Elia melarikan diri, menarik diri dari komunitas bangsanya, dan tak mau lagi peduli dan berkarya.
Dalam hidup pribadi maupun sebagai jemaat Tuhan di tengah hidup bermasyarakat dan berbangsa, kita pun tidak luput dari rasa takut dan kecewa. Kadang hal itu membuat kita menarik diri dari relasi dan pergaulan di tengah masyarakat. Perasaan diperlakukan tidak adil sebagai minoritas, tidak jarang juga memunculkan kemarahan dan kekecewaan yang membuat kita tak mau peduli dan tak lagi mau terlibat dengan kepentingan masyarakat. Pertanyaan Tuhan kepada Elia, juga menjadi pertanyaan reflektif untuk kita, pengikut Kristus saat ini,”Apa kerjamu di sini?” Dengan kata lain, Tuhan menanyakan kepada kita, sebagai orang Kristen yang tinggal di negeri Indonesia ini: “Apa yang sudah engkau lakukan di sini, di tengah bangsa ini?” Pertanyaan yang sekaligus menjadi pengingat, bahwa kita harus terus terlibat dan melibatkan diri di tengah masyarakat.
Bukan sebuah kebetulan jika nama GKI memperlihatkan unsur “I”, yaitu Indonesia, dengan begitu jelas. Dari Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee – gereja Tionghoa, dengan penuh kesadaran pada tahun 1958, kita memilih untuk berganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Dengan cara itu kita sebagai GKI ingin menyatakan identitas diri kita sebagai gereja Indonesia. Bukan sekadar menjadi salah satu gereja di Indonesia. GKI juga tidak ingin menjadi gereja dari dan bagi suku atau etnis tertentu saja, melainkan gereja bagi beragam suku serta etnis yang ada di Indonesia.
Kita sebagai GKI sudah seharusnya peduli terhadap Indonesia dan mencintai Indonesia. Apa yang terjadi di Indonesia dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik-budaya bangsa harus juga menjadi keprihatinan GKI (bila situasi dan masalahnya buruk) dan menjadi sukacita GKI (bila kondisi dan situasi berkembang baik).Hidup berbangsa dan bermasyarakat di bumi nusantara ini memang belum ideal, kadang masih menimbulkan kekecewaan, dan juga luka karena diperlakukan tidak adil, namun hal itu tidak boleh membuat kita menarik diri dari hidup bersama sebagai bangsa Indonesia atau bahkan tak mau lagi peduli akan kebutuhan masyarakat di sekitar kita. Seperti Tuhan mengingatkan dan kembali mengutus Elia, Ia juga mengingatkan kita untuk meneruskan panggilan kita untuk ikut serta membawa perubahan bagi bangsa Indonesia.
Tahun ini sudah 78 tahun kemerdekaan kita nikmati sebagai bangsa. Apa karya yang sudah kita tunjukkan di tengah bangsa dan masyarakat ini? Mari ikut serta membawa perubahan di tengah bangsa, memerdekakan sesama dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat, merawat kehidupan di tengah kekayaan keberagaman yang Tuhan berikan. Dirgahayu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Is your network connection unstable or browser outdated?
KAGAMA memberikan apresiasi atas berbagai skema program bantuan sosial untuk warga yang terdampak. Program perlindungan sosial ini sangat membantu meringankan beban warga yang terpukul akibat krisis ekonomi. KAGAMA berharap agar berbagai inisiatif dari masyarakat untuk saling membantu sesama yang sedang kesulitan itu terus didorong.
Ketua Umum Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada ( PP KAGAMA), Ganjar Pranowo, menyampaikan hal tersebut dalam sambutannya sekaligus membuka acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KAGAMA pada Sabtu (12/12/2020). Rakernas KAGAMA dilaksanakan secara daring diikuti oleh lebih dari 400 orang Pengurus Kagama dari semua tingkatan baik yang berdomisili di dalam negeri maupun luar negeri
Ganjar mengatakan KAGAMA, organisasi yang ia pimpin, telah menginisiasi program chantelan yang memungkinkan semua orang, termasuk segmen masyarakat kecil bisa ikut membantu, terutama untuk menyediakan kebutuhan bahan-bahan pokok. Termasuk di sini, kata Ganjar, Program Kagama Lari untuk Berbagi. Program lainnya seperti gerakan donasi yang digalang melalui program menyanyi dan menari. Tujuan dari kegiatan ini menggalang dana sebagai wujud kepedulian kepada sesama.
Komunita-komunitas ini kata dia aktif berkegiatan, dilakukan oleh kagama di seluruh dunia yang mana hampir tiap hari melakukan webinar.
“Ini membanggakan. Sampai ada alumni perguruan tinggi lain bilang ke saya itu kok Kagama aktif sekali. Saya jawab iya sebab mereka dihimpun bukan oleh sebuah ikatan tapi dihimpun dalam sebuah keluarga.”
“Mereka diikat oleh memori masa kuliah dulu yang rata-rata menjalani kuliah dengan tidak mudah. Kemudian relasi kemanusiaan dan kekeluargaannya terbangun sangat baik. Sehingga ketika sekarang mereka dalam posisi-posisi yang lebih baik dan menentukan bisa membantu,” kata Ganjar.
Menurut Ganjar, solidaritas sosial adalah kekuatan bangsa Indonesia untuk bertahan. Modal sosial ini perlu dirawat dengan sebaik-baiknya. Karena tidak mungkin semuanya tergantung pada dana APBN/APBD.
Inisiatif dari berbagai kalangan masyarakat untuk bergotong-royong harus terus hidup dalam masyarakat Indonesia.
“Maka sekaligus ini bisa sebagai evaluasi total untuk kita membawa arah kontribusi pada bangsa dan negara. Tidak hanya membawa momentum untuk berdikari sehingga anak-anak bangsa bisa menunjukkan bagaimana berkontribusi yang terbaik untuk bangsanya. Eh pangannya kita beresin yuk, politik kesehatannya kita beresin. Kita punya kawan-kawan hebat, punya guru-guru yang selalu membimbing kita semua di Bulaksumur. Yuk persoalan ini kita pecahkan. Dan kita bisa mendorong membuat wadah sebagai tempat kita bisa berdiskusi dengan sangat baik ,” kata Ganjar.
Alumnus Fakultas Hukum UGM ini mengatakan modal sosial tersebut bisa digunakan untuk mendorong gerakan bangga pada produk sendiri. Wujud dari Gerakan ini dengan membela dan membeli produk dalam negeri seperti produk UMKM agar bisa terus hidup dan bangkit. Dengan jumlah penduduk hampir 270 juta, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Penduduk yang besar adalah kekuatan. Gerakan bangga membela produk Indonesia, kata dia, perlu terus digaungkan, khususnya produk dari UMKM.
“Setiap hari minggu saya jualan di instagram dengan hashtag Lapak Ganjar. Ternyata luar biasa. Saya menemukan banyak kawan Kagama yang membantu desanya dengan ide yang brilian. Dengan cara ini kita punya kesempatan berdikari,” kata Ganjar.
“Kalau ada kawan kita punya produk yuk kita beli. Sehingga konsumsi meningkat dampaknya ekonomi jadi lebih baik,” pungkasnya. [hmk]
*) Pidato ini disampaikan Ganjar Pranowo dalam Rakernas PP KAGAMA Sabtu 12 Desember 2020